Maaf Tuhan, Aku sulit IKHLAS karena masih ingin dipuji, ingin diperlakukan istimewa, dan berharap dari selain-Mu.

Padahal mau jadi politisi…

Abdalah Gifar
3 min readJun 6, 2023

Ikhlas itu kunci konsistensi sekaligus persistensi, dalam kalimat lain, kuncian untuk kokoh (dalam aqidah atau keyakinan), kukuh (sabar/persisten dalam menghadapi tantangan untuk terus meningkat dan berkembang), keukeuh (istiqamah/konsisten dalam menjalani proses sekalipun kondisi naik-turun).

Ikhlas menjadi langkah atau poin pertama dan utama agar konsisten atau istiqamah, sebelum masuk poin berikutnya yaitu sabar, disiplin, dan belajar dari sukses dan gagalnya orang lain. Begitu kutipan khotbah Jumat yang saya simak di Pusdai pada 16 September 2022.

Ikhlaskah Aku?

Ingin maju jadi politisi — istilah yang dipakai dibanding politikus yang bangkainya dilindas di jalanan — dilandasi keinginan untuk mengubah kondisi negeri mulai dari kota, provinsi, dan kalau bisa sampai tingkat nasional secara sistemik. Namun, apa daya harus keluar banyak uang/biaya untuk kampanye. Bukan persoalan kalau popularitas ada di tangan dan kekayaan atau kendali atas sumber daya modal sudah di genggaman. Hanya saja setelah jadi politisi (kader) dalam partai harus “menjilat” dan membaguskan pimpinan yang busuk, dungu, dan mungkin tak bermartabat.

Ingin menjadi walikota atau pimpinan daerah lewat Pilkada karena ingin bermanfaat bagi orang banyak ceritanya. Namun, sekali lagi biaya kampanye tidak murah, harus pasang baligo atau reklame, bagi-bagi sembako dan lain sebagainya, selain umbar-umbar janji, karena begitulah biasanya, lawan politik akan senantiasa bersaing jadi yang terdepan. Popularitas dan kekayaan atau kendali atas kekayaan jika sudah dipegang itu saja tidaklah cukup. Selain itu, bagi pihak yang siap berkontribusi memberikan sumber daya dukungannya secara personal, kelompok (ormas, politik, atau adat) harus dibuat kontrak politik. Alih-alih dalam urusan kepentingan publik tapi malah justru urusan proyek sebagai balas budi dan timbal balik. Ada kontrak politik (baca : bagi-bagi ‘privilege’ kekuasaan) di sana.

Ada juga minat, terbersit keinginan walau kecil kemungkinan saat ini jadi kenyataan, jadi calon presiden atau calon wakil presiden. Seandainya punya nama mencuat karena kinerja atas sesuatu maupun popularitas tinggi ditunjang sensasi sesaat. Dengan mengantongi data elektabilitas yang tinggi dan berpotensi mendulang banyak suara, tentu jalan atas keinginan melangkah jadi capres atau cawapres akan terbuka. Namun, karena satu-satunya lokomotif untuk maju dalam Pilpres adalah adalah partai politik ataupun kongsi partai politik, konsekuensi “tapi”-nya sama seperti menjadi politisi dan pemimpin daerah di level yang lebih tinggi dan lebih besar.

Banyak enaknya dan enggak susah

Enak kali ya kalau jadi wakil rakyat, pimpinan partai atau presiden petugas partai. Kegoblokan dan ketidakkonsistenan akan dijaga, dibela, dibentengi, bahkan mungkin sampai dipuji-puji dan dibenarkan. Dalam setiap kesempatan pemimpin mendapatkan perlakuan istimewa. Apa yang ku harapkan bisa diwujudkan, apa yang ku lakukan bisa dibalas oleh pihak-pihak yang diuntungkan.

Berujar atas nama rakyat dan bangsa, tapi itu hanyalah bualan belaka. Jadi wakil rakyat tapi tidak mewakili kondisi rakyat. Jadi pemimpin rakyat tapi yang paling terakhir mikirin rakyat — berlebihan kalau disebut sampai merasakan derita rakyat — , karena yang terpenting perjalanan kekuasaan sampai akhir itu selamat, bagaimana para pendukung dan kontributor dalam lingkaran bisa puas dan turut merasa “nikmat”, syukur-syukur kekuasaan bisa dilanjutkan oleh keluarga atau kerabat.

Di luar jalur kekuasaan (politik), ikhlas pun sulit dicari

Kirain jadi politisi atau kepala daerah/presiden saja — kalau dibayangkan seperti di atas — yang rasanya sulit untuk ikhlas. Nyatanya menjalani kiprah atau fungsi tertentu, menapaki profesi dan karier, atau membuat karya sesuatu juga nyatanya ikhlas belum tentu mudah diraih.

Jadi anak,

jadi suami/istri,

jadi ayah/ibu,

apa akan jadi semacam transaksi saat ada harapan balasan setimpal dan kecewa atau marah saat balasan tidak sesuai harapan?

Mau jadi pendidik, dosen, guru atau pengajar,

apa akan perhitungan tatkala terombang-ambing dengan kekurangpantasan penghasilan atau pendapatan dengan seabrek tuntutan dan kewajiban?

Jadi pembuat film, penulis, seniman, atau pembuat karya yang lain,

itu untuk apa? Ingin dipuji, meraup validasi?

Al Ikhlas itu orientasinya Allah, Tuhan Yang Esa karena Dia-lah tempat sempurna untuk bergantung, tidak ada legacy keturunan, dan tidak ada yang menyamai apalagi mengungguli (Q.S. 112 : 1–4).

Berbuat, bekerja, dan berkarya dengan dasar, landasan, proses, dan tujuan kepada sesuai keinginan Allah. Mau jadi apapun itu, sekalipun tidak terkenal, tidak banyak pengikut, tidak banyak yang suka, tidak banyak mendulang uang. Begitupun sebaliknya, saat banyak yang didapat, semuanya tidak ada yang abadi, semuanya tetap dikembalikan kepada Tuhan Yang Satu.

--

--